Aku Dan Teman Serius Amat Aku Dan Teman Smk Narsis-Narsis Chibi-Chibi

Kamis, 13 Juni 2013

Candi di Malang

Candi di Malang

Candi Singosari
Cara pembuatan candi Singhasari ini dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian te
rtentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan seperti membangun rumah seperti saat ini).Candi ini berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, (sekitar 10km dari Kota Malang) terletak pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna di ketinggian 512m dari permukaan laut.
Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagama pupuh 37:7 dan 38:3 serta Prasasti Gajah Mada bertanggal 1351 Masehi di halaman komplek candi, candi ini merupakan tempat “pendharmaan” bagi raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara, yang mangkat pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini tidak pernah selesai dibangun.
Komplek percandian menempati areal 200m×400m dan terdiri dari beberapa candi. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut dwarapala) dan posisi Gada (Senjata ) menghadap ke bawah, ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya. Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan. Letak candi Singhasari yang dekat dengan kedua arca dwarapala menjadi menarik ketika dikaitkan dengan ajaran Saiwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di puncak Kailasa dalam wujud lingga, batas Timur terdapat gerbang dengan Ganesha atau Ganapati sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala, gerbang Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori. Karena letak candi Singhasari yang sangat dekat dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke gunung Arjuna, penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan gunung Arjuna dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu.
Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujursangkar berukuran 14m×14m dan tinggi candi 15m. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca, dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.
Candi Singasari baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-20 dalam keadaan berantakan. Restorasi dimulai tahun 1934 dan bentuk yang sekarang dicapai pada tahun 1936.


Candi Badut
Candi Badut terletak di Dukuh Gasek, Desa Karang Besuki, Kesamatan Dau, Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Candi Badut terletak di kaki Gunung Kawi.  Candi Badut diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan sebagaimana yang termaktub dalam prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi. Dapat ditempuh dengan kendaraan umum jurusan Tidar. Candi ini diperkirakan berusia lebih dari 1400 tahun dan diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan sebagaimana yang termaktub dalam prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi.
Kata Badut di sini berasal dari bahasa sansekerta “Bha-dyut” yang berarti sorot Bintang Canopus atau Sorot Agastya. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah pasangan arca tidak nyata dari Siwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni. Pada bagian dinding luar terdapat relung-relung yang berisi arca Mahakal dan Nadiswara. Pada relung utara terdapat arca Durga Mahesasuramardhini. Relung timur terdapat arca Ganesha. Dan disebelah Selatan terdapat arca Agastya yakni Syiwa sebagai Mahaguru. Namun diantara semua arca itu hanya arca Durga Mahesasuramardhini saja yang tersisa.
Candi ini ditemukan pada tahun 1921 dimana bentuknya pada saat itu hanya berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Orang pertama yang memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher, seorang kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang. Candi Badut dibangun kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya.
Candi Sumberawan
Candi Sumberawan hanya berupa sebuah stupa, berlokasi di Kecamatan Singosari, Malang. Dengan jarak sekitar 6 km dari Candi Singosari. Candi ini Merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari dan digunakan oleh umat Buddha pada masa itu.
Candi Sumberawan terletak di desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, +/- 6 Km, di sebelah Barat Laut Candi Singosari, candi ini dibuat dari batu andesit dengan ukuran P. 6,25m L. 6,25m T. 5,23m dibangun pada ketinggian 650 mDPL, di kaki bukit Gunung Arjuna. Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening airnya. Keadaan inilah yang memberi nama Candi Rawan.
Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904. Pada tahun 1935 diadakan kunjungan oleh peneliti dari Dinas Purbakala. Pada zaman Hindia Belanda pada tahun 1937 diadakan pemugaran pada bagian kaki candi, sedangkan sisanya direkonstruksi secara darurat. Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang ditemukan di Jawa Timur. Batur candi berdenah bujur sangkar, tidak memiliki tangga naik dan polos tidak berelief. Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang. Karena ada beberapa kesulitan dalam perencanaan kembali bagian teratas dari tubuh candi, maka terpaksa bagian tersebut tidak dipasang kembali. Diduga dulu pada puncaknya tidak dipasang atau dihias dengan payung atau chattra, karena sisa-sisanya tidak ditemukan sama sekali. Candi sumberawan tidak memiliki tangga naik ruangan di dalamnya yang biasanya digunakan untuk menyimpan benda suci. Jadi hanya bentuk luarnya saja. Jadi hanya bentuk luarnya saja yang menunjukkan bahwa bangunan tersebut adalah stupa. Apakah maksud didirikannya candi Sumberawan yang bentuknya stupa, tetapi fungsinya tidak seperti lazimnya stupa sesungguhnya? Kiranya candi ini dahulu memang didirikannya untuk pemujaan. Para ahli purbakala memperkirakan candi Sumberawan dulunya bernama Kasurangganan, sebuah nama yang terkenal dalam kitab Negarakertagama. Tempat tersebut telah dikunjungi Hayam Wuruk pada tahun 1359 masehi, sewaktu beliau mengadakan perjalanan keliling. Dari bentuk-bentuk yang tertulis pada bagian batur dan dagoba (stupanya) dapat diperkirakan bahwa bangunan candi Sumberawan didirikan sekitar abad 14 sampai 15 masehi yaitu pada periode Majapahit. Bentuk stupa pada candi Sumberawan ini menunjukkan latar belakang keagamaan yang bersifat Budhistis.


Candi Jago
Candi Jago berasal dari kata “Jajaghu”, didirikan pada masa kerajaan Singhasari di abad ke-13. Berlokasi di kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, atau sekitar 22 km dari kota Malang, pada koordinat 8°0′22″S 112°45′49″E / 8.00611°S 112.76361°E / -8.00611; 112.76361.
Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat karena tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini.


Candi Kidal
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 – 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.
Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan.
Bathara Anusapati menjadi raja
Selama pemerintahannya tanah Jawa kokoh sentosa
Tahun caka Perhiasan Gunung Sambu (1170 C – 1248 M) beliau berpulang ke Siwabudaloka
Cahaya beliau diujudkan arca Siwa gemilang di candi Kidal
(Nagarakretagama : pupuh 41 / bait 1, Slamet Mulyono)
Demikianlah penggalan kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya raya informasi tentang kerajaan Majapahit dan Singosari, berkaitan dengan raja Singosari ke-2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.
Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota MalangJawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana.
Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil.
Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan diatas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.
Dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad XII M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.
Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan tentang perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.
Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di candi Sukuh (lereng utara G. Lawu). Cerita Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu aliran Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode kerajaan Kahuripan dan Kediri. Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal diujudkan sebagai dewa Wisnu pada candi Belahan dan Jolotundo, dan patung Wisnu diatas Garuda paling indah sekarang masih tersiumpan di museum Trowulan dan diduga berasal dari candi Belahan.
Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi diatas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Diantara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang diantara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).
Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular “bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan susu”. Garuda menyanggupi dan segera mohon ijin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk diatas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua).
Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. (relief ketiga)
Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.
Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep “Dewa-Raja” yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain. Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum LeidenBelanda diduga kuat berasal dari candi Kidal. Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya dengan Anusapati?.
Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, namun selalu menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama.
Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah Kepanjen – Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri Tunggul Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya.
Hal ini terjadi karena Ken Arok, yang secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan Tumapel melihat mengeluarkan sinar kemilau keluar dari aurat Kendedes. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe, bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari, yakni wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan ambisi Ken Arok maka diapun membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin dengan Kendedes. Sementara itu setelah mengawini Kendedes, Ken Arok masih juga mengawini Ken Umang dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya dari pada Ken Dedes; Sehingga Ken Dedes diabaikan.
Berlandaskan uraian diatas, maka pemberian relief Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk meruwat ibunya Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa.
Candi Jawi
Dibangun sekitar abad 13, Candi Jawi bukanlah merupakan tempat pemujaan atau tempat peribadatan. Candi ini merupakan tempat penyimpanan abu dari raja terakhir Singosari, Kertanegara. Sebagian dari abu tersebut juga disimpan pada Candi Singosari. Kedua candi ini ada hubungannya dengan Candi Jago yang merupakan tempat beribadat Kertanegara.
Mengapa Kertanegara membangun candi di sini. Padahal, letaknya jauh dari pusat kerajaan? Bisa jadi karena di kawasan ini pengikut agama Siwa-Buddha sangat kuat. Rakyat di daerah itu sangat setia. Sekalipun Kertanegara dikenal sebagai raja yang masyhur, ia juga memiliki banyak musuh di dalam negeri. Kidung Panji Wijayakrama, misalnya, menyebutkan terjadinya pemberontakan Kelana Bayangkara. Negarakertagama mencatat adanya pemberontakan Cayaraja.
Mungkin saja, kawasan Candi Jawi dijadikan basis pendukung Kertanegara. Terbukti, saat Dyah Wijaya, menantu Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegera dikudeta raja bawahannya, Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.
Bentuk candi berkaki Siwa, berpundak Buddha. Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah, dengan ukuran luas 14,24 x 9,55 meter dan tinggi 24,50 meter. Pintunya menghadap ke timur. Posisi pintu ini oleh sebagian ahli dipakai alasan untuk mempertegas bahwa candi ini bukan tempat pemujaan atau pradaksina.
Biasanya, candi untuk peribadatan menghadap ke arah gunung, tempat bersemayam kepada Dewa. Candi Jawi justru membelakangi Gunung Penanggungan. Sementara ahli lain menganggap sebagai candi pemujaan. Posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung karena pengaruh dari Buddha.
Keunikan Candi Jawi adalah adanya relief di dinding. Sayangnya, relief ini belum bisa dibaca. Bisa jadi karena pahatannya yang terlalu tipis, atau karena kurangnya informasi pendukung, seperti dari prasasti atau naskah. Negarakertagama yang secara jelas menceritakan candi ini tidak menyinggung sama sekali soal relief tersebut. Berbeda dengan relief di Candi Jago dan Candi Penataran yang masih jelas. Salah satu fragmen yang ada pada dinding candi, menggambarkan sendiri keberadaan candi Jawi tersebut beserta beberapa bangunan lain disekitar candi. Nampak Jelas pada fragmen tersebut pada sisi timur dari candi terdapat candi perwara sebanyak tiga buah, namun sayang sekali kondisi ketiga perwara tersebut saat ini bisa dibilang rata dengan tanah. demikan juga di fragmen tersebut terlihat jelas bahwa terdapat candi bentar yang merupakan pintu gerbang candi, terletak sebelah barat. Sisa-sisa bangunan tersebut memang masih ada, namun bentuknya lebih mirip onggokan batu bata, karena memang gerbang candi tersebut dibangun dari batu bata merah.
Disamping relief yang terletak dibagian dinding candi, terdapat pula relief lain yang terletak dibagian dalam candi. Terletak tepat dibagian tengah candi yang merupakan bagian tertinggi dari bagian dalam candi, terdapat sebuah relief Dewa Surya yang terpahat jelas.
Keunikan lain dari Candi Jawi adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Bagian bawah terdiri dari batu hitam, sedangkan bagian atas batu putih. Bisa jadi ada dua periode pembangunannya.
Memang, Negarakertagama menyebutkan bahwa candrasengkala atau tahun Api Memanah Hari (1253 Saka) candi itu disambar petir. Saat itulah arca Maha Aksobaya raib. Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk yang mengunjungi candi itu sampai bersedih atas hilangnya arca tersebut. Memang ditemukan arca Maha Aksobaya yang kini disimpan di Taman Apsari, depan Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, yang kemudian dikenal dengan Patung Jokodolog. Akan tetapi, arca ini bukan berasal dari Candi Jawi.
Setahun setelah disambar petir itu, dilakukan pembangunan kembali. Pada masa inilah diperkirakan menggunakan batu putih. Namun, dari mana batu putih tersebut? Karena, kawasan yang masuk kaki Gunung Welirang kebanyakan batu hitam. Batu putih banyak dijumpai di daerah pesisir utara Jawa atau Madura.
Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 karena kondisinya sudah runtuh. Akan tetapi, renovasinya tidak sampai tuntas karena sebagian batunya hilang. Kemudian diperbaiki kembali tahun 1975-1980, dan diresmikan tahun 1982.
Bentuk bangunan Candi Jawi memang utuh, tetapi isinya berkurang. Negarakertagama menyebutkan, di dalam bilik candi terdapat arca Siwa. Di atasnya terdapat Maha Aksobaya. Ada sejumlah arca bersifat Siwa, seperti Nandiswara, Durga, Ganesa, Nandi, dan Brahma.
Arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya. Lainnya disimpan di Museum Trowulan untuk pengamanan. Sedangkan yang lainnya lagi, seperti arca Brahmana, tidak ditemukan. Mungkin saja sudah berkeping-keping.
Di gudang belakang candi memang terdapat potongan-potongan patung. Selain itu, terdapat pagar bata merah seperti yang banyak dijumpai di bangunan pada masa Kerajaan Majapahit, seperti Candi Tikus di Trowulan dan Candi Bajangratu di Mojokerto.
Pemindahan arca pada satu sisi memang tepat untuk menghindarkan dari pencurian. Akan tetapi, dapat mengurangi substansi sejarahnya. Menjadi tidak lengkap. Arca-arca yang dipindah dari habitatnya menjadi kehilangan nilai historisnya. Lihat saja arca yang disimpan di Hotel Tugu Park, Malang. Arca-arca itu memang terawat baik, tetapi lantas tercabut dari nilai historis dan ritualitasnya. Suatu hal yang memang dilematis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar